SampulDunia.com - Menceraikan atau bercerai dalam rumah tangga bagi seseorang suami ataupun istri merupakan suatu hal yang paling dibenci oleh agama, namun jika kalian terpaksa karena suatu keadaan maka hal tersebut bisa saja menjadi alasan untuk melakukan perceraian.
Perlu dipahami perceraian harus melalui alasan-alasan yang kuat bahwa suami maupun isntri tidak akan saling hidup bersama seara harmonis lagi, hal tersebut sesuai pada pasal Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menerangkan bahwa :
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Alasan-alasan untuk bercerai sendiri sudah diatur secara khusus melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) Pasal 39 ayat (2) selain pasal tersebut ada aturan tambahan lain yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan (“PP 9/1975”) Pasal 19. dalam aturan itu menerangkan secara gamblang mengenai alasan-alasan yang dijadikan dasar dalam bercerai diantaranya :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Melihat alasan-alasan diatas, alasan bercerai pada dasarnya harus ada alasan yang cukup bahwa antara suami istri tidak bisa hidup bersama secara harmonis lagi.
Lalu bagaimana kondisinya jika Istri sedang hamil ingin bercerai atau ingin diceraikan ???
Ingin bercerai dan diceraikan adalah suatu hal yang berbeda, artinya konsekunsi hukum yang akan ditanggung nantinya jelas berbeda. namun berbicara hal tersebut akan menjadi pokok pembahasan yang cukup menyita waktu.
Berfokus pada perceraian dalam kondisi hamil sebetulnya aturan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan (“PP 9/1975”) maupun KHI (Kompilasi Hukum Islam) tidak menjelaskan larangan terkait perceraian dalam kondisi hamil, keduanya justru mengatur mengenai masa iddah (masa tunggu) saat ada janda dalam kondisi hamil maka ditunggu hingga melahirkan (lihat Pasal 39 ayat 1b - PP 9/1975) namun terkait dengan percaraian saat kondisi hamil tidak aturan yang melarangnya antara kedua aturan tersebut.
Sesuai kutipan hadist (HR. Ahmad dan Muslim)
ثمليطلقهاطاهراأوحاملا
Silahkan talak istrimu, dalam kondisi suci atau ketika sedang hamil.
Dari penjelasan tersebut diatas pada dasarnya melakukan perceraian saat kondisi istri sedang hamil tidak dilarang, baik secara aturan normatif perundang-undangan maupun secara KHI dan hadist, namun pertegasan dalam aturan mengenai perkawinan justru lebih mengatur mengenai dasar-dasar atau alasan-alasan yang menyebabkan perceraian, dan proses pernikahan menunggu dengan janda ada masa iddah ataumasa tunggu.
------------------
Sumber :
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan
- Hadist HR. Ahmad dan Muslim